Berita soal AI dalam pendidikan sering kali terdengar suram. Katanya, mahasiswa jadi curang, bodoh karena ChatGPT, dan lulus tanpa pernah benar-benar berpikir. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, kenapa mereka melakukannya? Jawabannya ternyata jauh lebih dalam dari sekadar kata “malas”.
Fenomena ini bukanlah tanda kemerosotan moral generasi muda. Sebaliknya, ini adalah gejala dari bagaimana AI dalam pendidikan bertemu dengan sistem yang sedang kacau dan penuh tekanan.
Sudut Pandang Mahasiswa: Opini dari The Guardian
Untuk memahami akar masalahnya, kita bisa melihat sebuah opini yang ditulis oleh seorang mahasiswa di The Guardian. Tulisan ini memberikan perspektif yang jujur dari “dalam”. Menurutnya, mahasiswa beralih ke AI bukan karena mereka pemalas, tetapi karena mereka merasa terdampar dalam sistem pendidikan yang goyah.
Beberapa poin kuncinya adalah:
- AI Sebagai Alat Bantu, Bukan Hanya untuk Curang: Banyak mahasiswa menggunakan AI untuk membantu riset, menyusun kerangka esai, atau memahami konsep sulit, bukan semata-mata untuk menjiplak.
- Dampak Kekacauan Pasca-Pandemi: Generasi saat ini adalah korban dari ketidakpastian sistem pendidikan. Ujian yang dibatalkan, format penilaian yang berubah-ubah, dan tekanan akademis yang tidak konsisten membuat mereka merasa tidak siap.
- Tekanan Finansial: Biaya hidup yang tinggi memaksa banyak mahasiswa bekerja paruh waktu. Waktu mereka untuk belajar secara mendalam menjadi sangat terbatas. AI pun menjadi alat penghemat waktu yang praktis.
Opini ini menyimpulkan bahwa menyalahkan mahasiswa adalah jalan pintas. Penggunaan AI dalam pendidikan yang masif adalah cerminan dari sistem yang sedang bermasalah, baik dari sisi akademis maupun ekonomi. Ikuti Pelatihan Ai Bersertifikat Nasional
Generasi yang Menghadapi Ketidakpastian
Cerita dari The Guardian tadi bukanlah kasus yang terisolasi. Bayangkan jadi mahasiswa sekarang. Masa remaja mereka dihantam pandemi. Ujian nasional tiba-tiba batal, diganti sistem penilaian yang membingungkan. Mereka adalah angkatan pertama yang kembali ke ujian “normal”, tapi dengan beban berat untuk menekan nilai.
Ketidakpastian itu tidak berhenti di situ. Di bangku kuliah, aturan main terus berubah. Satu tahun ujian online dari rumah, tahun berikutnya harus tulis tangan di kampus. Jadwal dan format ujian sering kali baru diumumkan di menit-menit terakhir.
Di tengah kebingungan itulah, ChatGPT dan alat AI dalam pendidikan lainnya muncul. AI terasa seperti sebuah pegangan. Ia menawarkan bantuan instan bagi mahasiswa yang merasa tertinggal dan cemas menghadapi sistem yang tak menentu.
Mencari Jalan Tengah yang Manusiawi
Tentu, memakai AI dalam pendidikan tanpa aturan juga ada bahayanya. Ada risiko soal privasi data, algoritma yang mungkin tidak adil, dan kreativitas yang bisa jadi tumpul. Tapi solusinya bukan melarang atau menghukum. Itu cuma mengobati gejalanya, bukan akarnya.
Ada jalan yang lebih baik dan lebih manusiawi:
- Buat Aturan Main yang Jelas dan Konsisten: Universitas perlu memberikan kepastian. Jika ujian boleh buka buku, jelaskan sejauh mana AI boleh dipakai. Jangan biarkan mahasiswa menebak-nebak.
- Hargai Proses, Bukan Cuma Hasil Akhir: Daripada hanya fokus pada nilai esai, hargai juga prosesnya. Beri nilai untuk ide awal, draf, atau cara mereka berdiskusi. Di situlah pemikiran asli manusia tidak bisa digantikan AI.
- Selesaikan Masalah Sebenarnya: Yang paling penting, mari kita perbaiki masalah akarnya. Bantu ringankan beban finansial mahasiswa. Ciptakan lingkungan belajar yang stabil dan mendukung kesehatan mental mereka.
AI tidak akan hilang. Menyalahkan mahasiswa adalah jalan pintas yang tidak akan menyelesaikan apa-apa. Sudah saatnya kita jujur mengakui bahwa fenomena ini adalah alarm. Sebuah tanda bahwa sistem pendidikan kita butuh perhatian dan empati yang lebih besar.